Di negeri kepulauan seperti Indonesia, jarak bukan hanya sekadar angka di peta. Ia bisa menjadi sekat tak kasatmata yang memisahkan masyarakat dari akses kesehatan yang seharusnya menjadi hak dasar mereka. Bagi ibu hamil di pulau-pulau kecil, layanan ultrasonografi (USG), yang di kota mungkin dianggap biasa, sering kali menjadi kemewahan. Harus menyeberang laut, mengeluarkan biaya besar, dan menanggung risiko perjalanan panjang hanya untuk memastikan kondisi janin bukanlah pilihan mudah.
Namun di tengah keterbatasan itu, hadir sosok dokter muda yang memilih melawan arus. dr. Ikramsyah Maulana, putra Maluku, memutuskan untuk tidak menunggu sistem kesehatan bergerak sendiri.
Ia membawa layanan USG langsung ke pulau-pulau terpencil, menjemput pasien yang selama ini terhalang jarak, cuaca, dan biaya. Dengan langkah sederhana, ia membuka jalan baru: kesehatan yang lebih setara di negeri kepulauan.
Dari Latar Hidup ke Pilihan Profesi yang Berani
Ikramsyah lahir dan besar di Maluku, wilayah yang sejak kecil dikenalnya dengan segala keterbatasan layanan kesehatan. Berasal dari keluarga sederhana, perjalanan hidupnya tidak mudah. Ia menempuh pendidikan kedokteran dengan beasiswa, sebuah perjuangan yang menuntut disiplin dan kerja keras.
Namun lebih dari sekadar ijazah, ia pulang dengan tekad: kembali ke tanah kelahirannya dan mengabdi di wilayah yang sering diabaikan.
Baginya, menjadi dokter bukan sekadar profesi yang menjanjikan kenyamanan hidup di kota besar. Itu adalah panggilan untuk memberi dampak nyata. Pilihannya untuk bertugas di daerah terpencil adalah bentuk komitmen sosial, sebuah cara untuk membalas tanah yang membesarkannya.
“Kalau bukan kita yang lahir di sini, siapa lagi yang mau bertahan?” begitu kira-kira semangat yang ia bawa dalam setiap langkah.
Pentingnya “USG Antar-Pulau”
Pelayanan USG antar-pulau yang diinisiasi dr. Ikramsyah memanfaatkan teknologi portable. Dengan perangkat kecil yang bisa dibawa di kapal atau kendaraan, ia melakukan pemeriksaan ultrasonografi langsung di pulau-pulau terpencil. Pemeriksaan ini terutama menyasar ibu hamil, sekaligus untuk mendeteksi dini risiko pada janin maupun kondisi ginekologi lain.
Bagi ibu di kota, USG mungkin hanyalah bagian rutin dari pemeriksaan kehamilan. Tapi bagi banyak ibu di Maluku, bisa melakukan USG tanpa harus menyeberang laut adalah perubahan besar. Dengan layanan ini, potensi komplikasi bisa diketahui lebih cepat, keputusan medis lebih tepat, dan nyawa ibu serta bayi bisa terselamatkan.
Penghargaan di tingkat provinsi hingga nasional yang diterima Ikramsyah bukanlah sekadar simbol. Itu adalah pengakuan bahwa intervensi sederhana semacam ini dapat menutup jurang besar dalam akses kesehatan masyarakat.
Dampak Nyata: Menyelamatkan Nyawa dalam Kondisi Terbatas
Banyak cerita lahir dari perjalanan USG antar-pulau. Ada ibu yang tadinya mengira kehamilannya baik-baik saja, ternyata melalui USG diketahui mengalami risiko preeklamsia. Ada pula yang janinnya terlilit tali pusar, sehingga rujukan ke rumah sakit rujukan bisa dilakukan lebih cepat.
Dalam setiap kasus, USG bukan sekadar alat diagnostik. Ia menjadi penentu nasib. Satu kali pemeriksaan bisa mengubah jalan hidup sebuah keluarga.
Seperti yang sering digambarkan dalam narasi penghargaan publik: “satu tindakan kecil yang dapat menyelamatkan dua jiwa.”
Di balik angka statistik kesehatan ibu dan anak yang sering kita dengar, ada wajah-wajah nyata: seorang ibu yang lega karena mendapat kepastian, seorang ayah yang tak lagi harus menjual hasil tangkapan ikannya untuk biaya berlayar ke kota, dan seorang bayi yang lahir dengan selamat.
Model Pelayanan: Teknologi Portable + Pendekatan Komunitas
Keberhasilan USG antar-pulau bukan hanya soal alat. Kunci utamanya adalah kepercayaan masyarakat. Di banyak tempat, masih ada rasa takut atau ragu untuk memeriksakan diri.
Karena itu, dr. Ikramsyah tak hanya datang sebagai tenaga medis, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas. Ia berbicara dengan bahasa sederhana, membangun kedekatan, dan menjadikan pemeriksaan sebagai bentuk perhatian, bukan ancaman.
Perangkat portable memang memberi kemudahan logistik, tapi pendekatan humanis-lah yang membuat layanan ini diterima. Dukungan media sosial juga memperkuat peran edukasi. Melalui kanal YouTube dan dokumentasi yang ia buat, Ikramsyah menyingkirkan stigma bahwa pemeriksaan medis menakutkan. Ia mengajak masyarakat melihat USG sebagai jendela kasih sayang: kesempatan pertama seorang ibu melihat kehidupan yang tumbuh di dalam rahimnya.
Tantangan Operasional: Laut, Logistik, dan Sumber Daya
Meski penuh terobosan, layanan ini tidak lepas dari tantangan regulasi. Dalam sistem kesehatan Indonesia, radiologi dan USG memiliki aturan ketat terkait kompetensi dan kewenangan. Dokter umum boleh melakukan USG dasar, tetapi ada standar mutu yang harus dipenuhi dan jalur rujukan yang harus jelas.
Bagi dr. Ikramsyah, menjaga kualitas berarti bekerja sama dengan rumah sakit rujukan, mencatat setiap hasil pemeriksaan dengan teliti, dan memastikan pasien tidak berhenti di tengah jalan. Ia tahu, pelayanan seperti ini bukan hanya soal kecepatan menjangkau, tapi juga soal menjaga keselamatan dalam jangka panjang.
Menjalankan layanan antar-pulau berarti bersahabat dengan ketidakpastian. Cuaca bisa tiba-tiba buruk, kapal sulit berlayar, atau listrik di pulau tidak stabil. Biaya bahan bakar, perawatan alat, dan kebutuhan medis lain juga tidak kecil.
Namun kendala itu tidak membuat langkah terhenti. Dengan jadwal kunjungan berkala, melibatkan petugas kesehatan lokal sebagai penghubung, serta dukungan masyarakat, pelayanan tetap berjalan. Di balik setiap tantangan, selalu ada alasan lebih besar: keselamatan ibu dan bayi.
Jejak Digital dan Inspirasi bagi Tenaga Kesehatan Muda
Kisah dr. Ikramsyah tidak berhenti di pulau. Melalui jejak digital, ia membuka mata banyak tenaga kesehatan muda. Video dan kisah perjalanannya membuktikan bahwa pelayanan bermakna tidak hanya ada di rumah sakit besar di kota.
Bagi mahasiswa kedokteran atau dokter muda yang sering galau menentukan jalan, Ikramsyah memberi teladan: bahwa mengabdi di pelosok bukan berarti karier berhenti, melainkan justru membuka jalan pengabdian yang lebih besar.
Meski lahir dari inisiatif pribadi, USG antar-pulau punya potensi berkembang menjadi program sistemik. Dengan dukungan pemerintah daerah, pengadaan alat portable, serta pelatihan dokter umum dan bidan, model ini bisa direplikasi di banyak wilayah kepulauan lain.
Penghargaan yang diterima dr. Ikramsyah membuka peluang lebih besar: akses pendanaan, jaringan kemitraan, dan pengakuan publik. Namun yang lebih penting adalah menjadikan layanan semacam ini bagian dari kebijakan kesehatan nasional, agar tidak lagi bergantung pada satu atau dua sosok, melainkan menjadi sistem yang berkelanjutan.
Di negeri yang terdiri dari ribuan pulau, akses kesehatan tak boleh ditentukan oleh keberuntungan atau kemampuan menyeberang laut. Kisah dr. Ikramsyah Maulana menunjukkan bahwa pelayanan kecil, ketika dilakukan dengan hati dan keberanian, bisa membawa dampak besar. Dedikasinya ini, membuat Ikram dianugerahi Satu Indonesia Awards dari Astra di tahun 2024.
USG antar-pulau bukan sekadar inovasi medis. Ia adalah simbol keberpihakan: bahwa setiap ibu, di mana pun ia tinggal, berhak mendapatkan kepastian akan kesehatan dirinya dan anak yang dikandungnya.
Langkah-langkah kecil ini, jika dijaga dan diperluas, berpotensi menyelamatkan ribuan nyawa. Dan mungkin, di masa depan, kita akan melihat lebih banyak “dokter pulau” yang lahir, bukan hanya di Maluku, tapi di seluruh pelosok negeri.
Karena kesehatan seharusnya tidak mengenal batas, tidak terhenti oleh lautan, dan tidak bergantung pada kode pos tempat seseorang dilahirkan.